Selasa, 26 Nov 2024
  • INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) K.H. SUFYAN TSAURI MAJENANG

STAIS : TANTANGAN GURU DALAM MENANAMKAN NILAI-NILAI AGAMA PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

difable

Pendidikan Agama Islam adalah usaha yang dilakukan secara sistematis dalam membimbing anak yang beragama Islam, sehingga ajaran Islam benar-benar diketahui, dimiliki, dan diamalkan oleh peserta didik baik tercermin dalam sikap, tingkah laku maupun cara berfikirnya, sehingga akan menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat untuk dirinya sendiri dan umatnya.[1] Melalui pendidikan Islam terjadilah proses pengembangan aspek kepribadian anak, yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik, sehingga ajaran Islam diharapkan akan menjadi bagian integral dari pribadi anak yang bersangkutan. Dalam arti segala aktifitas anak akan mencerminkan sikap Islamiyah.

Proses pendidikan itu adalah proses yang kontinyu, bermula sejak seseorang dilahirkan hingga meninggal dunia. Rumusan selain itu adalah bahwa proses pendidikan tersebut mencakup bentuk-bentuk belajar secara formal maupun informal, baik yang berlangsung dalam lingkungan keluarga, kehidupan sekolah, pekerjaan maupun kehidupan masyarakat.[2]

Pengertian pendidikan agama Islam sesuai dengan kurikulum Pendidikan Luar Biasa adalah: ”Usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk mewujudkan persatuan Nasional”.[3]

Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus, salah satunya yaitu tuna grahita. Tuna grahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata.[4] Penyandang tuna grahita ini juga sering disebut penyandang keterbelakangan mental (mental retardation), atau anak subnormal, yaitu anak yang otaknya tidak dapat mencapai perkembangan dengan penuh, sehingga mengakibatkan anak mengalami keterbatasan kemampuan belajar dan penyesuaian sosial.[5]

Proses pembelajaran untuk anak tuna grahita harus dilakukan secara intensif karena mereka sangat memerlukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan mereka. Secara umum keberhasilan proses pembelajaran sangat ditentukan oleh beberapa komponen. Komponen tersebut dapat berasal dari guru, siswa, sarana prasarana , kurikulum, dan lain-lain.

Pendidikan dan pengajaran pada siswa tuna grahita tentunya akan berbeda dengan pengajaran pada siswa normal lainnya. Untuk itu, dengan memberikan pelayanan pendidikan yang sitematis dan terarah, diharapkan mereka dapat menjadi warga masyarakat atau warga Negara yang terampil, dapat mandiri, bertanggung jawab terhadap kehidupannya, serta tidak terlalu menggantungkan diri pada orang lain, sehingga kecacatannya tidak lagi dirasakan sebagai beban.[6]

Untuk mewujudkan harapan tersebut, seorang guru dituntut untuk memiliki dan memahami pengetahuan yang seksama mengenai pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, memahami tentang tujuan yang akan dicapai, penguasaan materi dan penyajiannya dengan metode-metode yang tepat. Pendidikan adalah hak bagi seluruh warga negara tanpa membedakan asal usul, status sosial, ekonomi maupun keadaan fisik seseorang termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31.[7] Realita yang ada sekarang adalah jumlah anak berkelainan yang mendapatkan layanan pendidikan jumlahnya masih sangat sedikit. Kesenjangan ini diantaranya disebabkan oleh masih adanya hambatan dalam pola pikir masyarakat kita masih cenderung dikotomis dan memandang “apa” pada anak berkelainan. Terbukti bahwa di banyak daerah hanya ada beberapa lembaga yang mampu menangani dan memberikan pelayanan khusus bagi penyandang cacat mental. Hanya sebagian kecil anak penyandang cacat yang mampu mendapatkan pendidikan secara khusus, sedangkan di daerah yang terpencil belum sepenuhnya anak-anak tuna grahita mendapat pendidikan yang layak dikarenakan belum memprioritaskan pendidikan bagi penyandang cacat mental.[8]

Saat ini, lingkungan melihat anak tuna grahita sebagai individu yang aneh, memiliki kekurangan dan tidak dapat berkarya. Penilaian yang demikian mengakibatkan anak tuna grahita benar-benar kurang berharga dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosialisasinya.  Adanya hambatan dalam perkembangan sosialisasi mengakibatkan  kecenderungan menyendiri serta memiliki sifat tertutup. Dari pengamatan yang dilakukan oleh penulis anak tuna grahita, mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Ia cenderung pemalu dan pendiam saat bertemu dengan orang yang baru dikenalnya, bahkan untuk menyebutkan namanya sendiri ia tidak mau. Anak juga sangat kesulitan untuk mengungkapkan apa yang diinginkannya pada orang lain karena anak sangat tertutup dan tidak responsif.

Di dalam kelas, anak kurang berani dalam menunjukkan kemampuannya. Penyandang tuna grahita cenderung gampang menyerah dan tunduk pada perlakuan teman sekelasnya. Seperti contoh: saat kertas kerajinannya direbut oleh temannya, anak hanya meminta dan seterusnya ia pasrah apakah kertas kerajiannya dikembalikan padanya atau tidak. Anak akan acuh saat ia menemukan suatu hal yang menarik untuk dikerjakan. Ia tidak merespon apapun bentuk panggilan dan gangguan yang ditujukan padanya. Bila dengan guru kelasnya, anak cenderung suka membantah apa yang diterangkan padanya. Tetapi hal tersebut akan berbeda saat ia diberi tugas oleh guru. Ia akan mengerjakan tuganya apabila sudah diperintah oleh guru. Anak sangat tergantung pada orang lain dalam mengawali suatu tindakan atau pekerjaan. Ia senang bila sudah dipaksa oleh gurunya. Dengan begitu ia merasa bahwa ia juga diperhatikan oleh gurunya.[9]

Dalam lingkup sekolah penyandang tuna grahita kurang bisa bersosialisasi dengan murid lainnya. Penyandang tuna grahita lebih suka menyendiri dan melihat-lihat hal-hal yang menarik baginya. Hal ini merupakan salah satu efek dari lemahnya mental anak tuna grahita sehingga lebih suka bermain dengan anak yang lebih rendah usianya. Anak akan merasa takut dan merasa dikucilkan bila ia bermain dengan anak –anak yang lebih tua atau sebaya.

Disadari bahwa kelainan seorang anak memiliki tingkatan dari yang paling ringan sampai yang paling berat, dari kelainan tunggal, ganda hingga kompleks yang berkaitan dengan fisik, emosi, psikis dan sosial. Keadaan ini jelas memerlukan pendidikan khusus dalam memberikan layanan pendidikan. Untuk mengatasi hal tersebut telah disediakan berbagai bentuk layanan  pendidikan (sekolah) bagi mereka. Pada dasarnya sekolah untuk anak berkelainan sama dengan anak-anak pada umumnya. Namun karena kondisi dan karakteristik kelainan anak yang disandang, maka sekolah bagi mereka dirancang secara khusus sesuai dengan jenis dan karakteristik kelainannya.[10]

Pendidikan Agama Islam adalah sebagai dasar dalam menjalani kehidupan yang berpijak dari Al Qur’an dan Hadits, agama dapat diibaratkan sebagai mata, sedangkan sains sebagai mikroskop atau teleskop yang dapat memperjelas daya pengamatan mata atau agama adalah pedoman dan jalan kehidupan menuju keselamatan, sedangkan pengetahuan adalah cahaya yang menerangi jalan kehidupan itu. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan agama harus bersanding dan bukan bertanding. Sehingga sangat penting bagi penyandang tuna grahita untuk mempelajari Pendidikan Agama Islam sebagai dasar baginya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Anak tuna grahita sangat memerlukan bimbingan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Pelajaran pendidikan Agama Islam sederhana untuk penyandang tuna grahita harus diberikan sesuai dengan kemampuannya, sehingga mereka mampu menerima materi yang diberikan sesuai kapasitas yang dimiliki.[11]

[1]  Sayyid Sabiq, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: t.p., 1981). hal. 4.

[2] Abu Tauhid, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Sekretariat ketua Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN SUKA, 1990) hal. 18

[3] Departemen Pendidikan Nasional, GBPP: Kurikulum Pendidikan Luar Biasa Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa Tunagrahita Ringan (Jakarta: t.p.,2001), hal.1.

[4] H.T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hal 83

[5] Purwanta Hadikasma, Buku Pengangan Sistem Pendidikan Terpadu (Yogyakarta: FIP UNY,t.t.), hal.29.

[6] Tamsik Udin AM & E. Tejaningsih, Dasar-dasar Pendidikan Luar Biasa SPG/KPG/SGO (Bandung: CV. Epsilon Group, 1988), hal 37

[7] UUD 1945 dengan Penjelasannya (Surabaya: Apollo), hal 9

[9] Miftah dalam http://www.google.com/ http://miftah88tea.blogspot.com/2009/12/intervensi-gangguan-pertumbuhan-dan.html, diakses pada tanggal 15 Januari 2010, jam 15:30

[10] M. Adam Amri Gunarsya Dalam http://www.google.co.id/ http://rizkanury.blogspot.com/2009/11/observasi-anak-tuna-grahita-sedang.html diakses pada tanggal 19 Januari 2010 jam 12:20

[11] H.T. Sutjihati Soemantri, Psikologi. Hal.83.

Komentar

Post Terkait

1 Komentar

Margie, Senin, 19 Jan 2015

How to copy post from other pages and make it unique and human readable ?

To find out just type in google:
anightund’s article tool

Balas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

KELUAR
close